Oleh: Sukriansyah Latief  

RUANG kerja saya yang tidak sebegitu luas, hanya ada tiga kursi tamu, beberapa hari terakhir ini terasa sempit. Bukan karena saya kebanyakan tamu atau telepon dan handphone yang terus berdering, tapi perasaan saya yang tiba-tiba sesak, mual, kepala puyeng, karena kesemuanya berbicara satu hal: Anggota Dewan.

Entah mengapa, menyebut tentang ’dua kata’ itu, membuat saya jengah dan cenderung takut. Mereka yang datang atau menelepon itu, baik keluarga, teman, atau yang mengaku-ngaku keluarga, ’berlomba-lomba’ atau tepatnya ’ngotot’ berebut untuk bisa menjadi anggota dewan, baik di pusat maupun di daerah.

Padahal, mereka tahu betul harus berkorban waktu, tenaga, dan pastinya uang yang tidak sedikit untuk meraihnya. Adakah yang begitu ’indah’ dan ’menjanjikan’ menjadi seorang anggota dewan? Bila saja kita melihat tugas dan fungsi dewan, sebenarnya tidaklah begitu ’hebat-hebat amat’.

Tapi dalam praktik ketatanegaraan, ’kekuasaan’ dewan itu ternyata sangatlah besar, berpengaruh dan mempengaruhi, tidak hanya sekadar legislasi, budgeting, dan pengawasan, seperti yang ada dalam konstitusi. Lebih dari itu, anggota dewan bisa ikut menentukan, apakah Anda boleh duduk ’di kursi empuk’ menjadi pejabat negara atau –maaf – ditolak, meski eksekutif berulangkali mengusulkannya.

Nasib Agus Marto, cukuplah membuka mata kita, bagaimana ’kuatnya’ kekuasaan anggota dewan. Besarnya kekuasaan itu memang sudah mulai terlihat ketika rezim orde baru ditumbangkan. Eksekutif tidak lagi ’bermain sendiri’, dan kekuasaan itu telah berpindah atau menyebar ke legislatif, yudikatif, dan tentunya media. Dalam 10 tahun reformasi, terlihat penyebaran kekuasaan itu telah berpindah-pindah atau bersamaan antara legislatif, yudikatif, dan media.

Foto/Sukriansyah Latief   

Ada masa di mana media sangat ’berkuasa’. Media bisa menulis apa saja, mengeritik siapa saja, termasuk presiden, dengan bahasa yang tidak bisa dikatakan sopan. Ada masa di mana yudikatif sangat berkuasa, bisa menahan siapa saja, dan menghukum siapa saja. Tapi seperti kata Lord Acton, ’power tend to corrupt’, kekuasaan yang terlalu besar cenderung untuk sewenang-wenang. Lantas bagaimana dengan legislatif?

Ternyata setali tiga uang, bahkan mungkin lebih parah lagi. Seorang kepala dinas pernah dibuat keringat dingin ketika dicecar pertanyaan sejumlah anggota dewan dalam rapat di kantor dewan. ’’Sebenarnya tidak ada masalah, tapi pertanyaan sangat menohok seolah-olah saya bersalah, dicecar terus secara bergantian, jadi saya gugup,’’ katanya.

Saya cuma bilang, ’’Jangankan Anda, seorang bupati/walikota, gubernur, menteri, kapolri, bahkan presiden sekalipun, dapat dipanggil ke dewan. Ini namanya ’pengawasan’.’’ Di bidang anggaran, calo-calo proyek/tender berkeliaran. Beberapa waktu lalu diberitakan bagaimana mereka, dengan tentunya ’memakai’ anggota dewan bisa mengubah anggaran proyek di satu daerah dipindahkan ke daerah lain.

Foto/Sukriansyah Latief  

Bahkan nilai proyek pun bisa diperbesar, tergantung seberapa besar ’fee’ yang akan diberikan. Suatu ketika, seorang teman pernah menghubungi saya. ’’Ki, ini ada proyek untuk kabupaten-kabupaten, kalo kau bisa menghubungi bupati-bupati dan dia mau, sudah pasti kita kaya,’’ katanya serius sembari memperlihatkan fotocopian anggaran. Saya cuma bilang, ’’Saya tidak punya bakat, cari orang lain saja.’’ Di bidang legislasi juga tak lepas dari perilaku koruptif. Untuk mengegolkan sebuah undang-undang, para pengusaha, pejabat BUMN, bahkan aparat pemerintah lainnya, harus mengeluarkan dana sampai miliaran rupiah dan atau menyiapkan cem-ceman wanita cantik.

Tugas legislasi yang mestinya juga ikut membuat dari awal sebuah rancangan undang-undang, pada kenyataan lebih pada menerima dan mengesahkan rancangan undang-undang yang diajukan pemerintah. Lembaga ini seolah telah berubah menjadi penentu, yang bisa dan yang tak bisa, yang boleh dan yang tidak boleh. Maka tak heran kemudian kalau banyak anggota dewan yang harus berurusan dengan masalah hukum.

Ada yang terlibat suap beramai-ramai ataupun sendiri-sendiri, ada yang terlibat perjalanan fiktif, ada penggelapan, dan banyak lagi perilaku menyimpang, termasuk yang berjudi, narkoba, atau skandal seks/selingkuh sesama anggota dewan, mesum yang sampai tersebar melalui video. Dan yang paling gres, adalah ketika seorang anggota dewan ditelepon jurnalis mengaku berada di daerah, ternyata sedang berada di Swiss. Saya cuma bilang, ’’Mungkin dia di sebuah daerah perkampungan, tapi di Swiss.’’

Foto/Sukriansyah Latief   

Maka tak heran pula bila kini banyak anggota dewan yang menjadi tersangka, malah banyak juga yang sudah ditahan. Pernah ada di sebuah daerah hampir semua anggota dewannya ditahan, karena disangka melakukan korupsi bersama-sama, kalau tak mau disebut berjamaah. Sebegitu ’rusak’ kah moral para anggota dewan kita? Inilah yang membuat saya mual dan takut ketika beberapa calon anggota dewan datang kepada saya meminta bantuan atau sekadar dukungan untuk maju pada pemilu legislatif tahun depan. Saya tidak bisa membayangkan mereka harus memakai pakaian khusus koruptor dan diborgol, seperti yang kini diusulkan KPK.

Dan untuk menumbuhkan efek jera dan rasa malu, kasus mereka akan dimuat di situs internet apabila sudah berkekuatan hukum tetap. Saya jadi ingat kejadian sekitar lima tahun lalu, ketika salah satu partai besar meminta saya untuk dicalonkan menjadi anggota dewan dari partainya. Untunglah saya menolak, karena saya tidak bisa membayangkan harus memakai pakaian khusus, apalagi diborgol. Sementara yang membuat saya puyeng, karena mereka tetap ’ngotot’ untuk bersaing dengan dalih: Saya ingin mengubah dari dalam; Ini demi kepentingan umat; Kita harus selamatkan bangsa ini; Siapa lagi kalau bukan kita-kita ini; dan banyak lagi alasan-alasan yang justru menambah pening kepala saya.

Ada juga yang bilang begini: ’’Ini hanya batu loncatan, nanti kalau saya jadi Jaksa Agung saya akan tangkapi semua itu koruptor, kan di partai ini tidak ada intelektual bidang hukumnya,’’ katanya meyakinkan. Saya tentu tidak boleh berburuk sangka. Tapi bila melihat proses pencalonannya, saya sangsi mereka bisa mengubah keadaan. Dari dulu saya percaya, proses menentukan hasil.

Kita tidak boleh hanya mementingkan hasil atau tujuan, tapi lebih utama adalah proses perjalanan sampai tujuan. Bagaimana saya bisa percaya dia akan mengubah keadaan, tatkala untuk dicalonkan menjadi anggota dewan di partainya dia harus membayar puluhan juta, dan bahkan ratusan juta rupiah untuk berada di nomor urut satu atau nomor jadi. Itu yang resmi kepada partai, belum lagi kepada oknum-oknum pengurus partai yang menjadi penentu nomor urut. ’’Saya hampir mengamuk, Ki. Masak saya mau dikasih nomor urut 2, padahal saya yang berjuang dari awal di partai, sementara si A (saya inisialkan), langsung mau no 1, hanya karena banyak uangnya,’’ kata seorang teman yang akan mencalonkan diri untuk DPR Pusat.

Foto/Sukriansyah Latief   

Padahal, dia juga sudah menyiapkan Rp 150 juta untuk diserahkan kepada partai, di luar oknum pengurus dan keperluan atribut kampanye, biaya transportasi dan akomodasi selama kampanye. Bisa dibayangkan berapa yang harus dikeluarkan, mengingat masa ’kampanye’ kali ini sampai sekitar 9 bulan. Lain lagi kisah teman saya yang pemilik bengkel mobil. ’’Ki, tolong dulu kita kasih tau Pak B (saya inisialkan), saya siap bayar Rp 75 juta, asal saya di nomor 1,’’ katanya sembari memperbaiki letak kacamatanya.

Si B adalah ketua salah satu partai . ’’Kalau tidak pasti, lebih baik saya menyumbang ke masjid,’’ kata teman yang akan bersaing untuk masuk di DPRD Makasar. Bila prosesnya seperti itu, masihkah kita bisa percaya soal motivasi ’mengubah’ dan untuk kepentingan rakyat? Bukannya ketika duduk, yang pertama dipikirkan adalah bagaimana cara mengembalikan ’biaya’ yang sudah dikeluarkan? Atau kalau ’biaya’ itu dari sponsor, bagaimana membalas ’kebaikan’ para sponsor itu? Ini seperti lingkaran setan, yang tak berujung. ***

Sukriansyah Latief adalah Wartawan Senior